Saling tahu mengenai strategi untuk bertahan adalah alasan utama dibuatnya program Lumbung Kelana, namun hal lain yang juga didapat dari program saling bertukar dan menjadi tuan rumah adalah untuk dapat bertukar informasi, saling berkunjung, dan mencari modus untuk tetap terkoneksi. Dalam program lumbung kelana ada 11 kolektif yang terlibat dalam program ini yaitu: Forum Sudut Pandang (Palu), Rumah Budaya Sikukeluang (Pekanbaru), Pasirputih (Lombok Barat), Hysteria (Semarang), Gelanggang Olah Rasa (Bandung), Sinau Art (Cirebon), TrotoArt (Jakarta), Serbuk Kayu (Surabaya), Komunitas Kahe (Maumere), dan Siku Terpadu (Makassar), sebenarnya ada 12 kolektif yang menjadi anggota lumbung namun salah satu kolektif yaitu Ketjil Bergerak (Yogyakarta) tidak dapat berpartisipasi karena sedang memiliki kesibukan yang lain. Pertukaran yang dilakukan dalam Lumbung kelana mengharuskan untuk tiap-tiap kolektif mengirim 2 orang anggotanya untuk berkelana ke 2 kolektif lain, dan dalam waktu yang bersamaan menjadi host untuk 2 orang pengelana dari 2 kolektif yang lain. Strategi ini dilakukan untuk lebih saling mengkoneksikan antara satu kolektif yang lain.
Durasi Lumbung Kelana adalah 14 hari, meskipun banyak peserta yang mengeluhkan bahwa waktu 14 tergolong pendek namun masing-masing peserta residensi dan tuan rumah, berusaha semaksimal mungkin untuk tetap melakukan proses risetnya mengenai strategi keberlangsungan secara efektif, sebagai upaya mengefektifkan waktu yang tidak terlalu panjang tim Lumbung Kelana membuat sebuah timeline untuk peserta residensi dimana hari 1 dan 2 menjadi ajang untuk saling berkenalan, hari 3-10 merupakan waktu untuk melakukan riset, hari ke 11-13 waktu produksi dan persiapan karya/bentuk presentasi, dan pada hari ke 14 menjadi hari untuk melakukan presentasi. Sugesti timeline tersebut diberikan namun sifatnya tidak memaksa, bisa host dan peserta residensi telah memiliki rencana yang lain yang berbeda dari timeline yang telah dibuat hal tersebut juga tidak apa-apa, karena tim Lumbung Kelana juga sadar bahwa masing-masing tempat memiliki cara kerja yang berbeda-beda dan tidak mungkin untuk diseragamkan. Dalam waktu yang singkat ini host berusaha untuk memfasilitasi kebutuhan seniman residensi untuk mendapatkan data-data terkait dengan strategi keberlangsungan, meskipun dalam prakteknya tidak semua membicarakan strategi keberlangsungan, namun hal tersebut secara positif membuat hasil riset dari Lumbung Kelana semakin beragam. Untuk bentuk presentasi akhir juga benar-benar dibebaskan tidak ada format khusus yang wajib dilakukan oleh peserta residensi dan tuan rumah, bentuknya bisa apapun mulai dari diskusi, mini exhibition, performance art, dan sebagainya. Yang diwajibkan selama program residensi ini berjalan adalan untuk tiap hari peserta residensi dan tuang rupa membuat sebuah catatan kecil, mengunggah foto dan video, serta sketsa. Material ini diwajibkan untuk peserta residensi dan tuan rumah karena material ini memang akan dijadikan bahan untuk penyusunan buku. Hal kedua yang diwajibkan adalah untuk membuat zine, jadi apapun kegiatan yang disepakati untuk dibuat oleh peserta residensi dan tuang rumah, mereka wajib untuk membuat zine.
Skema pertukaran anggota kolektif dalam Lumbung Kelana adalah sebagai berikut :
Host | Peserta 1 | Peserta 2 |
Siku Keluang | Diqu (FSDP) | Jatul (Pasir Putih) |
Siku Ruang Terpadu | Arno (GOR) | Jeka (Gubuak Kopi) |
Serbuk Kayu | Acong (Siku keluang) | Remik (Trotoart) |
Komunitas Kahe | Hana (Hysteria) | Januar (Serbuk Kayu) |
Gelanggang Olah Rasa | Wisnu (FSDP) | Hanifi (Serbuk Kayu) |
Forum Sudut Pandang | Pupung (Hysteria) | Aldo (Kahe) |
Pasirputih | Spizz (Gubuak Kopi) | Ucin (siku keluang) |
Gubuak Kopi | Sufty (GOR) | Yoan (Kahe) |
Sinau Art | Onyong (pasir putih) | Joni (Trotoart) |
Hysteria | Ipon (Sinau Art) | Edo (Siku Ruang Terpadu) |
Trotoart | Ian (Siku Ruang Terpadu) | Jalal (Sinau Art) |
skema ini dibuat berdasarkan formulir yang diisi oleh peserta, namun dalam penentuanya keterkaitan isu dan skill yang dimiliki peserta dengan isu yang menjadi fokus kolektif yang menjadi host, juga menjadi pertimbangan atas penentuan lokasi residensi untuk seniman.
–
Lumbung Kelana adalah rangkaian dari kebutuhan untuk belajar bersama seperti yang disinggung di awal artikel ini. Setelah 12 kolektif berafiliasi dalam nama Lumbung Indonesia, para anggota memilih 5 orang untuk mengelola forum ini dan menyebutnya Tim Sarekat. Tim Sarekat dengan periode yang terbatas, mengusulkan sejumlah program dan proyek jangka pendek, salah satunya yang menjadi fokus saat ini adalah Lumbung Kelana ini. Program ini lahir dari sejumlah pertemuan anggota sejak September 2021 lalu, membentuk bilik-bilik diskusi untuk secara spesifik membicarakan 1) Praktik Artistik; 2) Strategi Ekonomi; dan 3) Common Ground. Bilik-bilik ini berlanjut menjadi rangkaian rangkaian temu wicara, majelis akbar, workshop, dan 3 seri FGD, membicarakan sistem koperasi multi-pihak dan kemungkinannya untuk diadopsi dalam afiliasi Lumbung Indonesia ini; berlanjut pada pengembangan praktik residensi sebagai strategi keberlangsungan kolektif; dan berakhir di tata kelola residensi itu sendiri, yang kemudian kita tindak-lanjuti dengan residensi Lumbung Kelana.
Pada dasarnya 3 layer diskusi yang kita sebut bilik tadi tetap menjadi fokus utama yang menjadi topik perbincangan kita, walaupun kita sadar 3 bilik itu tidak lantas terpisah dalam praktik berkolektif. Melalui residensi Lumbung Kelana kemudian kita melihat bagaimana berbagai praktik, melakukan tarik ulur antara kebutuhan praktik artistik, strategi ekonomi, dan common ground sebagai hubungan yang linear dalam memahami serta menyusun strategi keberlangsungan kolektif. Berspekulasi pada pertanyaan-pertanyaan bagaimana praktik artistik juga mewakili common ground kolektif dalam mengatasi problem ekonomi; bagaimana merancang strategi ekonomi agar praktik artistik tetap berjalan dan tidak mengingkari common ground; bagaimana menjaga nilai common ground dan dirayakan melalui praktik artistik yang tetap menuntut strategi ekonomi; dan seterusnya.
Selama proses penjodohan, para partisipan dan masing-masing kolektif yang juga akan bertindak sebagai tuan rumah, mengidentifikasi kembali diri masing-masing untuk bisa saling berkontribusi. Melihat lagi kemampuan teknis yang mereka miliki, ide-ide yang mereka geluti, modal sosial yang bisa dibagikan, pengalaman menyiasati ruang, dan banyak hal yang masih perlu dipelajari. Lebih dari itu Lumbung Kelana pun bagi kami tumbuh sebagai platform pertemanan, pertemanan yang saling menguatkan.