Jakarta – Jakarta Biennale 2013 membuka ruang antar komunitas seniman berkolaborasi dan berhadapan langsung dengan warga. Salah satu proyeknya adalah membuat lapangan futsal sebagai sarana olahraga rakyat.
Lapangan futsal dengan ukuran seadanya, yakni 12 x 30 meter ini dibangun di bawah kolong jembatan, kawasan Penjaringan, Jakarta Utara.
Proyek ini adalah kolaborasi antara komunitas seni TROTOARt yang memang lahir dalam konteks urban kota Jakarta dan Jatiwangi Art Factory (JAF) yang berasal dari daerah Majalengka, Jawa Barat.
Pendiri Jatiwangi Art Factory (JAF), Arief Yudi Rahman mengatakan kawasan ini dipilih karena Jakarta Utara tidak memiliki banyak ruang bagi warganya.
Kawasan pemukiman ini padat penduduk dan sebagian besar lahannya menjadi jalan tol. Ukuran yang dipiih pun bukan karena pertimbangan estetika atau kemampuan menyediakan konstruksinya saja.
“Sebenarnya secara ukuran belum memenuhi, karena harus berebut dengan kepentingan kelompok masyarakat yang ada disitu,” ujarnya kepada detikHOT Rabu (30/10/2013) lalu melalui surat elektronik. Karena tempat ini juga masih aktif digunakan sebagai tempat parkir truk dan pengepulan sampah.
Pendekatan membuat lapangan futsal ini sudah dilakukan oleh TROTOARt sejak empat bulan lalu. Mereka sudah melakukan beberapa pendekatan sebelum eksekusi proyek dilakukan.
Agar tidak ada pihak yang merasa tergusur atau dirugikan. Karena banyak pihak yang menempati wilayah ini juga demi bertahan hidup.
Kesulitan lain yang harus dihadapi saat mengerjakan proyek adalah karena dengan dibuatnya lapangan futsal, mau tidak mau, ada satu akses jalan yang harus diututp, di mana di dalamnya ada para pengepul barang bekas yang tinggal di kolong jembatan.
***
Kolaborasi proyek ini dikerjakan karena ketertarikan untuk berbagi soal seni rupa secara langsung dalam kehidupan khususnya bagi warga di Jakarta.
“Setidaknya ini membuat kami warga Jatiwangi punya alasan untuk bertemu kembali, saling terhubung dan saling mengapresiasi.”
Arief pun menjelaskan apa saja hal menarik yang ia temukan selama mengerjakan proyek seni ruang publik di Jakarta. “Sebenernya sisi menarik dari pembuatan proyek di konteks urban adalah gambaran urban itu ternyata tetap Indonesia. Masih tetap ada kampungnya, rasa saling menjaga dan ingin berkumpul,” jelasnya.
Yang membedakan antara konteks urban dan rural adalah tingkat kepentingan di urban begitu tinggi satu sama lain demi bertahan hidup.
“Makanya kemudian bisa saling berebut ruang. Tetapi yang hebat dari kaum urban ini adalah mereka harus cepat mengambil keputusan. Keputusan itu juga harus mengeliminir tingkat ‘tabrakan’ dengan kecepatan lain, jadi sama-sama cepat, tapi tidak menjatuhkan banyak korban.”
Sementara di konteks rural, masalah biasanya bisa diprediksi dan dipikirkan dari jauh-jauh hari. “Jadi akselerasi di urban jauh lebih tinggi. Tingkat ketegangannya luar biasa,” ujarnya.
“Namun yah itu yang menariknya adalah di antara ketegangan-ketegangan itu masih terasa ‘Indonesia’ nya, masih ada kerinduan untuk berkumpul, kerinduan berguna untuk kepentingan umum,” kata Arief.
Kolaborasi antara Jatiwangi dengan TROTOARt dalam Jakarta Biennale 2013 ini, diharapkan dapat meluaskan wacana tentang seni. Tidak melulu bicara karya yang dipampang atau dipajang, namun sebagai praktek keseharian.
“Harapannya lewat project ini seni bisa melampaui kediriaannya. Pendekatannya bisa beragam, tapi bagaimana pendekatan ini masih dapat dikatakan sebagai seni. Karena di situ elemen-elemen artistik, penafsiran, pendalaman dan penghayatan tetap ada, walaupun bentuknya lapangan futsal.”
Karya yang berjudul ’12 x 30 di Sebelah Kecepatan’ ini, juga akan diseret ke ruang pajang di Museum Seni Rupa dan Keramik, Jakarta Barat. Caranya?
Mereka akan menampilkan maket dan dokumentasi proses kerja berupa video, mural dan lainnya, mulai 9 November hingga 30 November mendatang.